Entri Populer

Minggu, 01 Januari 2012

HUKUM PERAYAAN TAHUN BARU MASEHI


 Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka.


Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.


Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.


Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.


Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [Al-Baqarah : 109]


"Artinya : Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [Ali-Imran : 69]


"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [Ali-Imran : 149]


"Artinya : Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [Ali Imran : 99]


Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.


"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [Al-Hijr : 9]


Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat.


Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.


Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang yahudi dan nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun baru. 


Menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat  tahun baru ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.


Karenanya, kami menyatakan.

Pertama.
Sesungguhnya orang-orang yahudi dan nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan penelitian.


Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan Sunnah Nabinya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi belaka.


Kedua.
Momentum ini dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar.


Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang nashrani dan yahudi serta perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at nashrani dan yahudi yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah.


Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama mereka.



Ketiga.

Banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka.


Hari besar ('Ied) maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka.


Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu.


Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.

 
"Artinya : Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [Al-Furqan : 72]

 
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

 
Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.

 
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]

 
  Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari berkata.

 
"Artinya : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]
 

Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]

 
Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]

 
  Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]

 
Keempat.

Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :

 
  [a]. Menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.

 
  [b]. Menyerupai mereka dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.

 
Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana firman Allah Ta'ala.

 
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim" [Al-Maidah : 51]

 
  Dan firmanNya.
 
"Artinya : Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih saying dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [Al-Mujadillah : 22]
 

Kelima.

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut.


Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]

 
Keenam.

Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut.


Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.
 

Ketujuh.

Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya.


Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.

 
Kedelapan.

Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata "Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut.


Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib.


Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"


 
Kesembilan.


Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini.


Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.


Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini.

 
"Artinya : Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]

 
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga Bermanfaat untuk tahun Berikutnya...






Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi

[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah No. 1134, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar, No. 3313 denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy No. 18640
[4]. Ibid No. 18641
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770

Rabu, 09 November 2011

Palestina Bantu kemerdekaan Indonesia



Kalau ada ribut-ribut di negara- negara Arab, misalnya di Mesir, Palestina, atau Suriah, kita sering bertanya apa signifikansi dukungan terhadap negara tersebut. Hari ini ketika Palestina diserang, mengapa kita (bangsa Indonesia) ikut sibuk?
Sebagai orang Indonesia, sejarah menjelaskan bahwa kita berhutang dukungan untuk Palestina dan negara arab lain.
Dari berbagai sumber yang diperoleh, Sukarno-Hatta boleh saja memproklamasikan kemerdekaan RI de facto pada 17 Agustus 1945, tetapi perlu diingat bahwa untuk berdiri (de jure) sebagai negara yang berdaulat, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain. Pada poin ini kita tertolong dengan adanya pengakuan dari tokoh tokoh Timur Tengah, sehingga Negara Indonesia bisa berdaulat.

Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc.
Kenapa Kita Memikirkan Palestina?
M. Zein Hassan Lc. Lt. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peranserta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia: pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan. Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat dinegeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.
Seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan mengalir, di jalan-jalan terjadi demonstrasi- demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur-Tengah khususnya Mesir. Shalat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer Belanda ke-1, 21 juli 1947, pada 9 Agustus. Saat kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said. Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir berkumpul di pelabuhan itu.
Mereka menggunakan puluhan motor-boat dengan bendera merah putih? tanda solidaritas- berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motor-motor- boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air & makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan.
Sekarang bagaimana rasannya saat melihat bendera kita di kibarkan oleh bangsa lain dengan kesadaran penuh menunjukan rasa solidaritasnya, karena mereka peduli Wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10/8/47 melaporkan: “Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu kejuruan lain.”
Tentu saja, motivasi yang kita bangun tidak hanya dari aspek historis, namun ini kita dapat ambil sebagai sebuah pelajaran untuk mengingatkan kembali betapa palestina pernah melakukan hal yang sama terhadap Indonesia. (jk/dak/sm/berbagai sumber/www.suara-islam.com)

sumber : http://gazanews.wordpress.com/2009/01/20/palestina-bantu-kemerdekaan-indonesia/

Minggu, 14 Agustus 2011

Jilbab Dalam Al Quran dan Jilbab Zaman Sekarang



A. Pendahuluan
Kafemuslimah.com Ketika masyarakat kita mengenal kata ‘jilbab’ (dalam bahasa indonesia) maka yang dimaksud adalah penutup kepala dan leher bagi wanita muslimah yang dipakai secara khusus dan dalam bentuk yang khusus pula. Lalu bagaimanakah kata ‘jilbab’ muncul dan digunakan dalam masyarakat arab khususnya pada masa turunya Al Quran kepada Nabi Muhammad Saw dalam surat Al Ahzaab ayat 56 (?). Apa yang dimaksudkan Al Quran dengan kata ‘jalabiib’ bentuk jamak (plural) dari kata jilbab pada saat ayat kata itu digunakan dalam Al Quran pertama kali(?) Sudah samakah arti dan hukum memakai jilbab dalam Al Quran dan jilbab yang dikenal masyarakat Indonesia sekarang(?).

Selain kata jalabiib (jamak dari ‘jilbab’), Al Quran juga memakai kata-kata lain yang maknanya hampir sama dengan kata ‘jilbab’ dalam bahasa Indonesia, seperti kata khumur (penutup kepala) dan hijab (penutup secara umum), lalu bagaimana kata-kata serupa dalam ayat-ayat Al Quran tersebut diterjemahkaan dipahami dalam bahasa syara` (agama) oleh para shahabat Nabi dan ulama` selanjutnya.
Oleh karena itu kita tidak akan tahu pandangan syara` terhadap hukum suatu permasalahan kecuali setelah tahu maksud dan bentuk kongkrit serta jelas dari permasalahan itu, maka untuk mengetahui hukum memakai jilbabterlebih dahulu harus memahami yang di maksud dengan jilbab itu sendiri secara benar dan sesuai yang dikehendaki Al Quran ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan bangsa arab saat itu.
Salah satu dimensi i`jaz (kemukjizatan) Al Quran adalah kata-kata yang dipakai Al Quran sering menggunakan arti kiyasan atau dalam sastra arab disebut majaz (penggunaan satu kata untuk arti lain yang bukan aslinya karena keduanya saling terkait), hal ini menimbilkan benih perbedaan, begitu pula kata-kata dalam nash-nash (teks-teks) Hadist dan bahasa arab keseharian, oleh karena itu tidak jarang bila perselisian antara ulama-ulama Islam dalam satu masalah terjadi disebabkan oleh hal di atas, dan yang demikian itu sebenarnya bukanlah hal yang aneh dan bisa mengurangi kesucian atau keautentikan teks-teks Al Quran, tapi sebaliknya.
Mungkin kita juga pernah mendengar wacana kalau berjilbab maka harus menutup dada, lalu bagaimana kalau jilbabnya berukuran kecil dan tidak panjang ke dada dan lengan, apakah muslimah yang memakainya belum terhitung melaksanakan seruan perintah agama dalam Al Quran itu sebab tidak ada bedanya antara dia dan wanita yang belum memakai jilbab sama sekali, apakah sama dengan wanita yang membuka auratnya (bagian badan yang wajib di tutup dan haram di lihat selain mahram). Benarkah presepsi atau pemahaman yang demikian(?). Apa seperti itu Al Qur an memerintahkan(?)
B. Jilbab
Arti kata jilbab ketika Al Quran diturunkan adalah kain yang menutup dari atas sampai bawah, tutup kepala, selimut, kain yang di pakai lapisan yang kedua oleh wanita dan semua pakaian wanita, ini adalah beberapa arti jilbab seperti yang dikatakan Imam Alusiy dalam tafsirnya Ruuhul Ma`ani.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan; Jilbab berarti kain yang lebih besar ukurannya dari khimar (kerudung), sedang yang benar menurutnya jilbab adalah kain yang menutup semua badan.
Dari atas tampaklah jelas kalau jilbab yang dikenal oleh masyarakat indonesia dengan arti atau bentuk yang sudah berubah dari arti asli jilbab itu sendiri, dan perubahan yang demikian ini adalah bisa dipengaruhi oleh berbagai factor, salah satunya adalah sebab perjalanan waktu dari masa Nabi Muhammad Saw sampai sekarang atau disebabkan jarak antar tempat dan komunitas masyarakat yang berbeda yang tentu mempunyai peradaban atau kebudayaan berpakaian yangberbeda.
Namun yang lebih penting ketika kita ingin memahami hukum memakai jilbab adalah kita harus memahami kata jilbab yang di maksudkan syara`(agama), Shalat lima kali bisa dikatakan wajib hukumnya kalau diartikan shalat menurut istilah syara`, lain halnya bila shalat diartikan atau dimaksudkan dengan berdoa atau mengayunkan badan seperti arti shalat dari sisi etemologinya.
Allah Swt dalam Al Quran berfirman:
ياايهاالنبى قل لأزواجك وبناتك ونساءالمؤمنين يدنينعليهن من جلابيبهن ذلك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورارحيما (الأحزاب 59)
Artinya:Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal karena itu mereka tidak di ganggu.Dan Allah adalah maha pengampun dan penyayang. (Al Ahzab.59).
Ayat di atas turun ketika wanita merdeka (seperti wanita-wanita sekarang) dan para budak wanita (wanita yang boleh dimiliki dan diperjual belikan) keluar bersama-sama tanpa ada suatu yang membedakan antara keduanya, sementara madinah pada masa itu masih banyak orang-orang fasiq (suka berbuat dosa) yang suka mengganggu wanita-wanita dan ketika diperingatkan mereka (orang fasiq) itu menjawab kami mengira mereka (wanita-wanita yang keluar) adalah para budak wanita sehingga turunlah ayat di atas bertujuan memberi identitas yang lebih kepada wanita-wanita merdeka itu melalui pakaian jilbab.
Hal ini bukan berarti Islam membolehkan untuk mengganggu budak pada masa itu, Islam memandang wanita merdeka lebih berhak untuk diberi penghormatan yang lebih dari para budak dan sekaligus memerintahkan untuk lebih menutup badan dari penglihatan dan gangguan orang-orang fasiq sementara budak yang masih sering disibukkan dengan kerja dan membantu majikannya lebih diberi kebebasan dalam berpakaian.
Ketika wanita anshar (wanita muslimah asli Makkah yang berhijrah ke Madinah) mendengar ayat ini turun maka dengan cepat dan serempak mereka kelihatan berjalan tenang seakan burung gagak yang hitam sedang di atas kepala mereka, yakni tenang -tidak melenggang- dan dari atas kelihatan hitam dengan jilbab hitam yang dipakainya di atas kepala mereka.
Ayat ini terletak dalam Al Quran setelah larangan menyakiti orang-orang mukmin yang berarti sangat selaras dengan ayat sesudahnya (ayat jilbab), sebab berjilbab paling tidak, bisa meminimalisir pandangan laki-laki kepada wanita yang diharamkan oleh agama, dan sudah menjadi fitrah manusia, dipandang dengan baik oleh orang lain adalah lebih menyenangkan hati dan tidak berorentasi pada keburukan, lain halnya apabila pandangan itu tidak baik maka tentu akan berdampak tidak baik pula bagi yang dipandang juga yang melihat, nah, kalau sekarang kita melihat kesebalikannya yaitu ketika para wanita lebih senang untuk dipandang orang lain ketimbang suaminya sendiri maka itu adalah kesalahan pada jiwa wanita yang perlu dibenarkan sedini mungkin dan dibuang jauh jauh terlebih dahulu sebelum seorang wanita berbicara kewajiban berjilbab.
C. Cara memakai jilbab
  1. Cara memaki jilbab dengan arti aslinya yaitu sebelum diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi bahasa yang baku, adalah aturan yang mana para shahabat dan ulama` berbeda pendapat ketika menafsirkan ayat Al Quran di atas. Perbedaan cara memakai jilbab antara shahabat dan juga antara ulama itu disebab bagaimana idnaa`ul jilbab (melabuhkan jilbab atau melepasnya) yang ada dalam ayat itu. Ibnu Mas`ud dalam salah satu riwayat dari Ibnu Abbas menjelaskan cara yang diterangkan Al Quran dengan kata idnaa` yaitu dengan menutup semua wajah kecuali satu mata untuk melihat, sedangkan shahabat Qotadah dan riwayat Ibnu Abbas yang lain mengatakan bahwa cara memakainya yaitu dengan menutup dahi atau kening, hidung, dengan kedua mata tetap terbuka. Adapun Al Hasan berpendapat bahwa memaki jilbab yang disebut dalam Al Quran adalah dengan menutup separuh muka, beliau tidak menjelaskan bagian separuh yang mana yang ditutup dan yang dibuka ataukah tidak menutup muka sama sekali.Dari perbedaan pemahaman shahabat seputar ayat di atas itu muncul pendapat ulama yang mewajibkan memaki niqob atau burqo` (cadar) karena semua badan wanita adalah aurat (bagian badan yang wajib ditutup) seperti Abdul Aziz bin Baz Mufti Arab Saudi, Abu Al a`la Al maududi di Pakistan dan tidak sedikit Ulama`-ulama` Turky, India dan Mesir yang mewajibkan bagi wanita muslimah untuk memakai cadar yang menutup muka, Hal di atas sebagaimana yang ditulis oleh Dr.Yusuf Qardlawi dalam Fatawa Muashirah, namun beliau sendiri juga mempunyai pendapat bahwa wajah dan telapak tangan wanita adalah tidak aurat yang harus ditutup di depan laki-laki lain yang bukan mahram (laki-laki yang boleh menikahinya), beliau juga menegaskan bahwa pendapat itu bukan pendapatnya sendiri melainkan ada beberapa Ulama` yang berpendapat sama, seperti Nashiruddin Al Albani dan mayoritas Ulama`-ulama` Al Azhar, Qardlawi juga berpendapat memakai niqob atau burqo`(cadar) adalah kesadaran beragama yang tinggi yang man bila dipaksakan kepada orang lain, maka pemaksaan itu dinilainya kurang baik, sebab wanita yang tidak menutup wajahnya dengan cadar juga mengikuti ijtihad Ulama` yang kredibelitas dalam berijtihadnya dipertanggung jawabkan. Sedangkan empat Madzhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabila berpendapat bahwa wajah wanita tidaklah aurat yang wajib ditutupi di depan laki-laki lain bila sekira tidak ditakutkan terjadi fitnah jinsiyah (godaan seksual), menggugah nafsu seks laki-laki yang melihat. Sedangkan Syafi`iyah juga ada yang berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan wanita adalah aurat (bagian yang wajib ditutup) seperti yang ada dalam kitab Madzahibul Arba`ah, diperbolehkannya membuka telapak tangan dan wajah bagi wanita menurut mereka disebabkan wanita tidak bisa tidak tertuntut untuk berinteraksi dengan masyarak sekitarnya baik dengan jual beli, syahadah (persaksian sebuah kasus), berdakwah kepada masyarakatnya dan lain sebagainya, yang semuanya itu tidak akan sempurnah terlaksana apabila tidak terbuka dan kelihatan.
    Ringkasnya, para ulama Islam salafy (klasik)sampai yang muashir (moderen)masih berselisih dalam hal tersebut di atas. Bagi muslimah boleh memilih pendapat yang menurut dia adalah yang paling benar dan autentik juga dengan mempertimbangkan hal lain yang lebih bermanfaat dan penting dibanding hanya menutup wajah yang hanya bertujuan menghindari fitnah jinsiyah yang masih belum bisa dipastikan bahwa hal itu memang disebabkan membuka wajah dan telapak tangan saja.
    II. Imam Zamahsyari dalam Al Kasysyaf menyebutkan cara lain memakai jilbab menurut para ulama`yaitu dengan menutup bagian atas mulai dari alis mata dan memutarkan kain itu untuk menutup hidung, jadi yang kelihatan adalah kedua mata dan sekitarnya. Cara lain yaitu menutup salah satu mata dan kening dan menampakkan sebelah mata saja, cara ini lebih rapat dan lebihbisa menutupi dari pada cara yang tadi. Cara selanjutnya yang disebutkan oleh Imam Zamahsyari adalah dengan menutup wajah, dada dan memanjangkan kain jilbab itu ke bawah, dalam hal ini jilbab haruslah panjang dan tidak cukup kalau hanya menutup kepala dan leher saja tapi harus juga dada dan badan, Cara-cara di atas adalah pendapat Ulama` dalam menginterpretasikan ayat Al Qur an atau lebih tepatnya ketika menafsirkan kata idnaa`(melabuhkan jilbab atau melepasnya kebawah).
    Nah,mungkin dari sinilah muncul pendapat bahwa berjilbab atau menutup kepala harus dengan kain yang panjang dan bisa menutup dada lengan dan badan selain ada baju yang sudah menutupinya, karena jilbab menurut Ibnu Abbas adalah kain panjang yang menutup semua badan, maka bila seorang wanita muslimah hanya memaki tutup kepala yang relatif kecil ukurannya yang hanya menutup kepala saja maka dia masih belum dikatakan berjilbab dan masih berdosa karena belum sempurnah dalam berjilbab seperti yang diperintahkan agama.
    Namun sekali lagi menutup kepala seperti itu di atas adalah kesadaran tinggi dalam memenuhi seruan agama sebab banyak ulama` yang tidak mengharuskan cara yang demikian. Kita tidak diharuskan mengikuti pendapat salah satu Ulama` dan menyalahkan yang lain karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyah (yang mungkin salah dan mungkin benar menurut Allah Swt) yang benar menurut Allah swt akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam ijtihad itu, dan bagi yang salah dalam berijtihad mendapat satu pahala yaitu pahala ijtihad itu saja, ini apabila yang berijtihad sudah memenuhi syarat-syaratnya. Adalah sebuah kesalah yaitu apabila kita memaksakan pendapat yang kita ikuti dan kita yakini benar kepada orang lain, apalagi sampai menyalahkan pendapat lain yang bertentangan tanpa tendensi pada argumen dalil yang kuat dalam Al Quran dan Hadist atau Ijma`.
    Para Ulama` sepakat bahwa menutup aurat cukup dengan kain yang tidak transparan sehingga warna kulit tidak tampak dari luar dan juga tidak ketat yang membentuk lekuk tubuh, sebab pakaian yang ketat atau yang transparan demikian tidak bisa mencegah terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual)bagi laki-laki yang memandang secara sengaja atau tidak sengaja bahkan justru sebaliknya lebih merangsang terjadinya hal tersebut, atas dasar itulah para ulama` sepakat berpendapat bahwa kain atau model pakaian yang demikian itu belum bisa digunakan menutup aurat, seperti yang dikehendaki Syariat dan Maqasidnya (tujuan penetapan suatu hukum agama) yaitu menghindari fitnah jinsiyah (godaan seksual) yang di sebabkan perempuan.
    Selanjutnya kalau kita mengkaji sebab diturunkannya ayat di atas yaitu ketika orang-orang fasiq mengganggu wanita-wanita merdeka dengan berdalih tidak bisa membedakan wanita-wanita merdeka itu dari wanita-wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan), maka kalau sebab yang demikian sudah tidak ada lagi pada masa sekarang, karena memang sedah tidak ada budak, maka itu berarti menutup dengan cara idnaa` melabuhkan ke dada dan sekitarnya agar supaya bisa dibedakan antara mereka juga sudah tidak diwajibkan lagi, adapun kalau di sana masih ada yang melakukan cara demikian dengan alasan untuk lebih berhati-hati dan berjaga-jaga dalam mencegah terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) maka adalah itu masuk dalam katagori sunnat dan tidak sampai kepada kewajiban yang harus dilaksanakan.
    Namun bisa jadi ketika jilbab sudah memasyarakat sehingga banyak wanita berjilbab terlihat di mall, pasar, kantor, kampus dan lain sebagainya, namun cara mereka sudah tidak sesuai lagi dengan yang diajarkan agama, misalnya tidak sempurna bisa menutup rambut atau dengan membuka sebagian leher. Atau ada sebab lain, misalnya berjilbab hanya mengikuti trend atau untuk memikat laki-laki yang haram baginya atau disebabkan para muslimah yang berjilbab masih sering melanggar ajaran agama di tempat-tempat umum yang demikian itu bisa mengurangi dan bahkan menghancurkan wacana keluhuran dan kesucian Islam, sehingga dibutuhkan sudah saatnya dibutuhkan kelmbali adanya pilar pembeda antara yang berjilbab dengan rasa kesadaran penuh atas perintah Allah Swt dalam Al Quran dari para wanita muslimah yang hanya memakai jilbab karena hal-hal di atas tanpa memahami nilai berjilbab itu sendiri.
    Mungkin di saat seperti itulah memakai jilbab dengan cara melabuhkan ke dada dan sekitarnya diwajibkan untuk mejadi pilar pembeda antara jilbab yang ngetrend dan tidak islami dari yang berjilbab yang islami dan ngetrend serta mengedepankan nilai jilbab dan tujuan disyariatkannya jilbab itu.
    Asy Syaih Athiyah Shoqor (Ulama` ternama Mesir) ketika ditanya hukum seorang wanita yang cuma mengenakan penutup kepala yang bisa menutup rambut dan leher saja tanpa memanjangkan kain penutup itu ke dada dan sekitarnya, beliau menjawab dengan membagi permasalahan menutup aurat (kepala) itu menjadi tiga :
    1. Khimar (kerudung) yaitu segala bentuk penutup kepala wanita baik itu yang panjang menutup kepala dada dan badan wanita atau yang hanya rambut dan leher saja.
    2. Niqob atau burqo`(cadar) yaitu kain penutup wajah wanita dan ini sudah ada dan dikenal dari zaman sebelum Islam datang seperti yang tertulis di surat kejadian dalam kitab Injil. Namun kata beliau ini juga kadang disebut Khimar
    3. Hijab (tutup) yaitu semua yang dimaksudkan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya fitnah jinsiyah (godaan seksual) baik dengan menahan pandangan, tidak mengubah intonasi suara bicara wanita supaya terdengan lebih menarik dan menggugah, menutup aurat dan lain sebagainya, semuanya ini dinamankan hijab bagi wanita
    Nah untuk jilbab atau penutup kepala yang hanya menutup rambut dan leher serta tidak ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit wanita, maka itu adalah batas minimal dalam menutup aurat wanita.adapun apabila melabuhkan kain penutup kepala ke bawah bagian dada dan sekitarnya maka itu termasuk hukum sunat yang tidak harus dilakukan dan dilarang untuk dipaksakan pada orang lain.
    Beliau juga menambahkan apabila fitnah jinsiyah itu lebih dimungkinkan dengan terbukanya wajah seorang wanita sebab terlalu cantik dan banyak mata yang memandang maka menutup wajah itu adalah wajib baginya, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan selanjutnya, dan bila kecantikan wajah wanita itu dalam stara rata-rata atau menengah ke bawah maka menutupnya adalah sunat.
    Mungkin yang difatwakan oleh beliau inilah jalan keluar terbaik untuk mencapai kebenaran dan jalan tengah menempuh kesepakatan dalam masalah manutup wajah wanita dan berjilbab yang dari dulu sampai sekarang masih di persengketakan ulama` tentang cara, wajib dan tidak wajibnya.
D. Khimar (kerudung)
Al Quran juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam
An Nuur .31
وقل للمؤمنات ييغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولايبدين زينتهن الاماظهرمنهاوليضربن بخمرهن على جيونهن….(النور.31)
Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan pandangannya,dan memelihara kemaluannya,dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya..(An Nuur. 31)
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama`(plural) dari kata Khimar yang biasa diartikan dalam bahasa indonesia sebagai kerudung yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang kalau kita melihat arti sebenarnya ketika Al Quran itu datang kepada Nabi Muhammad Saw maka Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan melihat sedikit reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu. Imam Qurthubi menterjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua yang menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu juga dengan Imam Al Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna`ah yang berarti tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al Quran di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup itu ke bagian dada yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju) sehingga kalau wanita hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah ayat di atas, dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang menutupi dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang menutupinya. Namun kalau kita teliti kata juyuub lebih lanjut dan apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita akan menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir yang berbeda dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan Al Quran yang mendapat legalitas dari umat Islam dan para Ulama` dulu dan sekarang (qira`ah sab`ah), kata juyuub adalah bentuk jama`(plural) dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan leher dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan dengan lubangan untuk menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan orang arab saat Al Quran turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam Alusi juga menambahkan lagi dan berkata ¡°tetapi kalaupun diartikan dengan saku juga tidaklah salah¡± dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah saku tadi, Imam Alusiy artinya setuju kalau penutup kepala jilbab, kerudung atau yang lain adalah harus sampai menutup dada, meskipun beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi secara implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya manaruh satu bab yang berjudul
(باب جيب القميص من عندالصدروغيره)
Beliau setuju bila kata jaib diartikan dengan lubangan baju untuk menyimpan uang atau semisalnya (saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhariy (buku atau komentar kepada suatu karya tulis seorang pengarang kitab dengan berupa kesetujuan penjelasan atau ketidak setujuan atau menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang berjudul Fath Al bari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan dari baju sebagai tempat keluarnya kepala, tangan atau yang lain.dan banyak ulama` lain yang sependapat dengan Ibnu Hajar, sedangkan Al Ismaili mengartikan jaib itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju tentu lebih di bawah dari pada kera atau lubangan leher baju, selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher dan pangkal leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah sudah memenuhi perintah Allah Swt dalam ayat Al Quran di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di ayat tersebut di atas juga masih belum bisa di temukan titik temunya, saku baju atau lubang kepala.sehingga bila diartikan saku maka menutup kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup tempat saku baju,Dan kalau juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang baju untuk leher maka menutup kepala cukup memakai yang bisa menutup keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa menampakkan kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut, seperti yang disebutkan dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu ketika Asma` binti Martsad sedang berada di kebun kormanya, pada saat itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang mereka, lalu berkatalah Asma` sungguh buruk sekali pemandangan ini maka turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu karena wanita-wanita pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka melepaskan dan membiarkan kain penutup kepala itu ke belakang punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher dan dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah Swt memerintahkan untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher dan telinga serta rambut mereka tertutupi, akan tetapi tetapi lebih lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu dengan menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka juga ikut tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil kesamaan bahwa ayat di atas turun karena aurat (dalam hal ini leher, telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan kain kerudung, sehingga turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata lain, memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher) itu adalah cara untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al Quran sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa itu, artinya bila aurat sudah tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada maka perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan adalah cara untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang berupa menutup aurat itu sudah tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang tidak sama maka boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al Quran di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit autar wanita. Wallahu `a`lam bish shawab.
E. Aurat Wanita
Dari ayat di atas pula para ulama` juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keidahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al Qaffal kata الاماظهرمنها (kecuali yang tampak darinya) diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dlorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi`i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju, pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan waniti sampai perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain, maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata الاماظهرمنها dengan perhiasan-perhiasan yang biasa tampak seperti cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih shahih (benar) menurut Imam Ar Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dst adalah seperti hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa untuk boleh membukanya menurut agama. Semua hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas dari telapak kaki. Madzhab Syafi`i berpendapat yang sama yaitu semua anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih). Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat termasuk telapak tangan dan kaki.
Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki, wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua:
  1. Aurat mugalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya)
  2. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam (tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketiak dia telah siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mugalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan sempurnah dan apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya (lihat madzhibul arba`ah).
F. Hijab
Al Quran juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum, Allah Swt dalam surat Al Ahzab ayat 58 memerintah kepada para shahabat Nabi Saw pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi Saw untuk memintanya dari balik hijab (tutup).
…واذاسألتموهن متاعافاسألوهن من وراءحجاب ذلكم اطهرلقلوبكم وقلوبهن…(الأحزاب.58)
Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi saw) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka¡­(Al Ahzab. 58)
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata jilbab atau khimar meskipuan ayat di atas adalah turun untuk para istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini bahwa semua wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil adalah umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al Quran, bukan sebab yang khusus untuk istri-istri Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan penutup yang demikian itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki lain yang sedang berkepentingan dengannya, adapun cara berhijab di atas adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi wanita, sehingga kalau memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang terjadinya keburukan maka itu bukan dan belum di namakan berhijab atau bertutup.
G. Penutup
Ringkasnya menutup aurat adalah kewajiban seorang wanita muslimah tepat ketika dia berikrar menjadi seorang muslimah, tidak ada menunda-nunda dalam memakainya dan tanpa pertimbangan apapun dengan cara yang minimal atau maksimal. Dengan tegas saya tekankan membuka kepala dan aurat selainya adalah haram yang tidak bisa ditawar lagi kerena ke wajiban itu adalah sudah ditetapkan dari pemahaman ayat-ayat Al Quran. Dan sudah jelas bahwa Al Quran sebagai satu-satunya yang di tinggalkan Nabi Saw kepada umatnya yang telah dijelaskan dan di dukung dengan Hadist Nabi Saw.
Wallahu a`lam bissawab

Sumber : Artikel Muslimah

Selasa, 09 Agustus 2011

Pengertian Tauhid


Dari segi bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan sesuatu itu esa’. Dari segi syari’ tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-Nabi Nya yaitu dari segi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Was Sifat’.
Pensyariatan Tauhid
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS Az Zariyat 51:56)
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS Al Baqarah 2:21)
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut … (QS An Nahl 16:36)
Tauhid Sebagai Kewajiban Terbesar
Tauhid merupakan materi dakwah pertama para Rasul.
Tauhid merupakan terminal pertama dan langkah terawal bagi mereka-mereka yang ingin menempuh jalan kepada Allah.
Apabila tauhid wujud dalam diri seseorang secara sempurna, maka tauhid akan mencegah seseorang itu masuk neraka.
Nabi saw bersabda:
Tidak seorangpun bersaksi bahawa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul Nya benar-benar dari hatinya kecuali Allah akan mengharamkan atasnya neraka. (Hadis Riwayat Bukhari)
Apabila tauhid ada dalam diri seseorang (walaupun seberat biji sawipun), ia akan mencegah dari kekal di neraka selamanya.

BEDA AL-QUR’AN, HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI


Beda antara al-Qur’an dengan hadits Qudsi:

Al-Qur’an : Diturunkan melalui perantara malaikat Jibril 'alaihissalam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan wahyu itu bermacam-macam.

Adapun hadits Qudsi maka tidak dipersyaratkan adanya perantara malaikat Jibril. Kadangkala malaikat Jibril menjadi perantaranya atau kadang kala lewat ilham atau dengan yang lainnya.

Al-Qur’an : Semuanya mutawatir dan pasti kebenaran periwayatannya (semuanya shahih).

Adapun hadits Qudsi sebagiannya ada yang shahih, dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu)

Al-Qur’an : Membacanya adalah ibadah, maka siapa saja yang membaca satu huruf dia mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuliuh kebakan.

Adapun hadits Qudsi tidak demikian.

Al-Qur’an : Terbagi-bagi menjadi surat-surat, ayat-ayat, hizb-hizb dan juz-juz.

Adapun hadits Qudsi tidak terbadi dengan pembagian seperti itu.

Al-Qur’an : Lafazh dan maknanya adalah mukjizat.

Adapun hadits Qudsi tidak demikian secara mutlak.

Al-Qur’an : Orang yang mengingkarinya kafir, bahkan yang mengingkari satu huruf sekalipun dia dihukumi kafir.

Adapun hadits Qudsi maka siapa yang mengingkari hadits qudsi atau menolaknya karena melihat kondisi sbagian rawi-rawinya (orang-orang yang meriwayatkan hadits) maka dia tidak kafir.

Al-Qur’an : Tidak boleh meriwayatkan atau membacanya dengan maknanya (tidak dengan lafaznya)

Adapun hadits Qudsi boleh meriwayatkannya dengan makna.

Al-Qur’an : Kalamullah (ucapan Allah Subhanahu wa Ta'ala) baik secara lafazh maupun makna.

Adapun hadits Qudsi maka maknanya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan lafazhnya (teks) dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Al-Qur’an : Allah menantang orang Arab bahkan menantang seluruh makhluk untuk mendatangkan/membuat sesuatu yang seperti al-Qur’an baik dalam lafazh maupun maknanya.

Adapun hadits Qudsi maka Allah tidak menantang mereka dengannya.

Beda hadits Qudsi dengan hadits Nabawi

Hadits Qudsi : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menisbatkan atau menyandarkan hadits (ucapan tersebut) kepada Rabbnya (Allah) Subhanahu wa Ta'ala

Adapun hadits Nabawi maka beliau tidak menyandarkannya kepada Rabbnya.

Hadits Qudsi : Kebanyakan materinya/temanya berkaitan dengan khauf (takut kepada Allah), roja’ (harapan kepada Allah) dan pembicaraan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap para Makhluknya. Dan sedikit yang berkaitan dengan hukum taklifi (hukum pembebanan syari’at seperti wajib, sunah, makruh haram dan mubah)

Adapun hadits Nabawi maka terkandung di dalamnya materi-materi/tema-tema di atas dan ditambah dengan materi/tema tentang hukum.

Hadits Qudsi : Jumlahnya sedikit kalau dilihat dari keseluruhan jumlah hadits yang ada.

Adapun hadits Nabawi maka banyak sekali.

Hadits Qudsi : Secara umum berupa Qouliyah (ucapan).

Adapun hadits Nabawi mencakup qouliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan) dan taqririyah (penetapan/pembenaran). Untuk melihat itu baca di kitab “Ash-Shahih al-Musnad min Al-Ahaadits Al-Qudsiyah” karya Syaikh Mustafa al-‘Adawi hafizhahullah dan ”Mabahits fii ‘Ulumi Al-Hadits” rahimahullah.

Beda antara Hadits dan Atsar.

Hadits apabila dimutlakan di dalam istilah maka dia lebih umum/lebih luas cakupannya dari pada sekedar ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan dia mencakup hadits qouliyah (perkataan) yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hadits fi’liyah (perbuatan) beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Maka penggambaran perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam istilah hadits atau disebut juga hadits, seperti wudhu Nabi atau shalat beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan lain-lain. Dan juga mencakup sifat-sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam, seperti penggambaran ciri-ciri fisik dan sifat-sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian juga mencakup taqrir (penetapan/pembenaran) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap suatu perkara atau perbuatan yang dilakukan oleh para Sahabat, seperti taqrir beliau terhadap para Sahabat yang memakan daging dhob (sejenis biawak).

Dan apabila dimutlakkan lafazh hadits maka hal itu mencakup perkataan, dan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana penjelasan yang lalu, dan mencakup pula perkataan dan perbuatan Sahabat radhiyallahu'anhum, maka ketika dikatakan misalnya –setelah menyebutkan sebuah hadits dikatakan-:”Dan hadits ini mauquf (hadits yang disandarkan kepada Sahabat) dari perkataan fulan dari kalangan Sahabat.” Dan juga mencakup al-Maqthu’ yaitu ucapan yang datang dari para Tabi’in. Demikian juga mencakup hadits dha’if (lemah) dan hadits maudhu’ (palsu). Dan hadits bisa disebut juga sebagai khabar.

Adapun ketika dibagi secara istilah, maka hal di atas berbeda-beda maknanya menurut sebagian ulama, perbedaaan tersebut adalah:

Hadits: Apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, fisik maupun perilaku beliau shallallahu 'alaihi wasallam –sebagian mereka menambahkan- baik sebelum diutus menjadi Nabi ataupun setelahnya. Dan yang benar bahwa kata “hadits” identik dengan apa yang diriwayatkan dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam setelah diutus.

Khabar adalah sinonim dari kata hadits menurut kalangan ulama ahli hadits.

Dan sebagian ulama membedakan keduanya, mereka mengatakan:

Hadits adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan khabar adalah apa yang datang dari selain beliau shallallahu 'alaihi wasallam. oleh sebab itu dikatakan kepada orang yang menyibukkan diri dengan ilmu sunnah/hadits disebut muhaddits dan untuk orang yang menyibukkan diri dengan ilmu tarikh (sejarah) di sebut ikhbari

Ada yang berkata bahwa di antara keduanya ada umum khusus, maka setiap hadits adalah kahabar dan tidak setiap khabar hadits.

Adapun atsar dipakai oleh Ahli Hadits untuk istilah hadits marfu’ dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, atau mauquf dari Sahabat radhiyallahu'anhum. Oleh karena itu muhaddits disebut juga al-Atsary, dinisbatkan ke atsar dan dikatakan untuk hadits Qudsi “atsar Ilahi”. Kecuali menurut ulama ahli fiqih dari daerah Khurasan mereka menyebut hadits mauquf dengan atsar dan hadits marfu’ dengan khabar.

Kesimpulan dalam masalah ini :

Apabila kata Hadits dimutlakkan maka yang dimaksud adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan kadang yang dimaksud adalah sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat radhiyallahu'anhum atai Tabi’in rahimahumullah, akan tetapi kadang-kadang lafazh itu dibatasi dengan sesuatu yang bisa memberikan faidah pengkhususan siapa yang mengucapkannya.

Dan kata khabar dan atsar dimaksudkan untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan apa yang disandarkan kepada Sahabat radhiyallahu'anhum dan Tabi’in rahimahumullah, hanya saja ahli fikih dari daerah Khurasan membedakan keduanya sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Dan ini menurut muhaddits/Ahli hadits, oleh sebab itu mereka tidak membedakan antara ”haddatsanii” (mengatakan kepadaku) dan ”akhbaranii” (mengabarkan kepadaku).

(Sumber : الفرق بين القرآن والحديث القدسي وبين الحديث النبوي والحديث القدسي oleh Abdurrahman as-Suhaim, diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono)

Kamis, 16 Juni 2011

UKHUWAH DAN KERUKUNAN DALAM AL-QUR'AN


Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Q.s. Al-Hujurat [49]: 10).

Manusia beriman mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dipelihara dan dilaksanakan, yakni hubungan vertikal dengan Allah SwT melalui shalat dan ibadah-ibadah lainnya, dan hubungan horizontal dengan sesama manusia di masyarakat dalam bentuk perbuatan baik. Mukmin niscaya menjaga harmoni, keseimbangan, equilibrium antara intensitas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Orientasi hubungan vertikal disimbolkan oleh pencarian keselamatan dan kebaikan hidup di akhirat, sedangkan hubungan horizontal diorientasikan pada perolehan kebaikan dan keselamatan hidup di dunia.


Mereka selalu diliputi kehinaan dimana pun mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali (janji) dari Allah dan tali (janji) dari manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan selalu diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab; soalnya, karena mereka durhaka dan melanggar batas (Q.s. Ali Imran [3]: 112).

Interaksi manusia dengan sesamanya harus didasari keyakinan bahwa, semua manusia adalah bersaudara, dan bahwa anggota masyarakat Muslim juga saling bersaudara. Ukhuwah mengandung arti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga membuahkan persaudaraan.

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam cita dan rasa merupakan faktor yang sangat dominan yang menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman berada bersama jenisnya dan dorongan kebutuhan ekonomi bersama juga menjadi faktor penunjang rasa persaudaraan itu. Islam menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu, baik terhadap sesama Muslim, maupun terhadap non-Muslim.

Katakanlah, “Wahai Ahli Kitab! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah, “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud pada kehendak Allah] (Q.s. Ali Imran [3]: 64).

Dimensi Ukhuwah Manusia
Al-Qur’an mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa (ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah imaniyah).
Persaudaraan sesama manusia dilandasi oleh kesamaan dan kesetaraan manusia di hadapan Allah SwT.
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).

Ketika pembukaan kota Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Ka’bah?” Sahut yang lain, “Jika Allah membenci dia, pasti Ia menggantinya”. Maka turunlah ayat itu.
Seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari ayah dan ibu yang satu. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Persaudaraan manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam dalam Al-Qur’an sebagai berikut.

Hai anak-anak Adam! Janganlah biarkan setan menggoda kamu seperti perbuatannya mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian supaya mereka memperlihatkan aurat. Ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat dan kamu tak dapat melihat mereka. Kami jadikan setan-setan sekutu orang-orang tak beriman (Q.s. Al-A’raf [7]: 27).

Hai anak-anak Adam! Jika rasul-rasul datang kepadamu dari kalangan kamu sendiri menyampaikan ayat-ayat-Ku, maka mereka yang bertakwa dan memperbaiki diri, tak perlu khawatir, tak perlu sedih (Q.s. Al-A’raf [7]: 35).

Manusia satu dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal yang mendorong masing-masing berpartisipasi pada agenda-agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia, antara lain penciptaan keadilan dan perikemanusiaan.
Persaudaraan dalam keturunan dan perkawinan: persaudaraan nasab dan semenda memperoleh legitimasi dari Al-Qur’an dengan kokoh sebagai berikut.
Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu dijadikan-Nya ia berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Mahakuasa (Q.s. Al-Furqan [25]: 54).

Allah menjadikan buat kamu pasangan-pasangan dari kodratmu sendiri dan Ia menjadikan dari pasangan-pasangan itu anak-anak, laki-laki dan perempuan dan cucu-cucu dan Ia memberikan kepadamu rezeki yang baik-baik. Adakah mereka masih percaya kepada yang batil dan tidak mensyukuri nikmat Allah? (Q.s. An-Nahl [16]: 72).
Hai orang beriman! Jagalah diri kamu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, dijaga para malaikat yang keras dan tegas, tak pernah membangkang apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (Q.s. At-Tahrim [66]: 6).

Orang-orang beriman niscaya memelihara bukan saja perilaku diri sendiri, tetapi juga perilaku keluarga, dan semua mereka yang dekat karena habungan darah maupun karena hubungan semenda.

Persaudaraan suku dan bangsa memiliki pijakan kuat dalam Al-Qur’an
Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa, supaya kamu saling mengenal [bukan supaya saling membenci, bermusuhan]. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Mahatahu, Maha Mengenal (Q.s. Al-Hujurat [49]: 13).

Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. Antara persaudaraan iman dan persaudaraan nasional atau kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tetapi sekaligus all at once. Seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.

Muslim Indonesia harus berjuang menegakkan ukhuwah Ini. Jika tidak, Allah SWT niscaya membinasaan bangsa ini, sebagaimana Ia telah membinasakan bangsa lain yang lebih kuat lalu menggantinya dengan generasi yang lebih baik (QS Fathir/35:44).
Persaudaraan sesama pemeluk agama memperoleh landasannya pada firman Allah,
Katakanlah, “Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untuk kamu dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun/109:1-6).

Pengakuan keberadaan agama-agama lain tidak berarti pengakuan bahwa agama-agama lain itu benar, tetapi pengakuan hak setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran, saling menghargai, saling membantu dan menghormati, dilandasi prinsip agree in disagreement, setuju dalam perbedaan; persaudaraan dalam perbedaan dan keragaman. Ukhuwah sesama pemeluk agama ini mendorong pemeluk agama untuk tidak sekadar ko-eksistensi, tetapi kooperasi: kerjasama dalam program amaliyah yang lebih praksis, sejak dari tingkat negara, sampai pada rakyat biasa (Nurcholish, 1998).
Pluralitas bangsa, suku bangsa, agama dan golongan merupakan kaidah yang abadi yang berfungsi sebagai pendorong untuk saling berkompetisi dalam melakukan kebaikan, berlomba menciptakan prestasi dan memberikan tuntunan bagi perjalanan bangsa-bangsa dalam menggapai kemajuan dan ketinggian (Muhammad Imarah, 1999).

Persaudaraan seiman-seagama merupakan puncak persaudaraan.
Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka rukunkanlah kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah supya kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat/49:10).

Persaudaraan mukmin yang satu dengan yang lain merupakan ketetapan syariat. Persatuan, kesatuan dan hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil maupun besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Untuk menghindarkan keretakan hubungan tersebut, Mukmin niscaya menghindari sikap memperolok pihak atau kelompok lain; menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan atau merendahkan; berprasangka, memata-matai dan menggunjing pihak lain.

Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih (QS Al-Hujurat/49:11-12).
Nabi Isa AS pernah berkata, “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Pada kesempatan lain Nabi Isa AS bepesan, “…Apa yang tidak kalian inginkan terjadi padamu, janganlah lakukan kepada orang lain. Dalam jalan inilah kalian akan betul-betul saleh di hadapan Tuhan.” (Tarif Khalidi, 2005).

Terlaksananya persaudaraan Muslim merupakan idaman umat Islam. Atas dasar itulah Rasulullah SAW menyampaikan khutbah dalam ibadah haji perpisahan,
“Wahai sekalian manusia! Camkanlah kata-kataku, karena aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih diberi lagi kesempatan untuk berdiri di depan kalian di tempat ini.”
“Jiwa dan harta benda kalian adalah suci, dan haram di antara kalian, sebagaimana hari dan bulan ini adalah suci bagi kalian semua, hingga kalian menghadap Allah SWT. Dan ingatlah, kalian akan menghadap Allah, yang akan menuntut kalian atas perbuatan-perbuatan yang kalian lakukan.”

“Wahai manusia! Kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian, dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian. Perlakukanlah istri-istri kalian dengan cinta dan kasih sayang, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”
“Kebangsawanan di masa lalu diletakkan di bawah kakiku. Orang Arab tidak lebih unggul dari bangsa non-Arab, dan bangsa non-Arab tidak lebih unggul atas bangsa Arab. Semua adalah anak Adam, dan Adam tercipta dari tanah.”
“Wahai manusia! Dengar dan pahami kata-kataku! Ketahuilah, bahwasanya sesama muslim adalah saudara. Kalian semua diikat dalam satu persaudaraan. Harta seseorang tidak boleh menjadi milik orang lain kecuali diberikan dengan rela hati. Lindungilah diri kalian dari berbuat aniaya.”

“Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Siapa tahu, orang yang diberi tahu lebih memahami daripada orang yang mendengarnya.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif (QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.

Teladan Ukhuwah
Teladan ukhuwah terdapat dalam kehidupan kaum muslimin awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Orang-orang yang sebelum mereka bertempat tinggal [di Madinah] dan sudah beriman, dengan penuh kasih sayang menyambut orang yang datang hijrah ke tempat mereka, dan dalam hati mereka tak terdapat keinginan atas segala yang diberikan, dan mereka lebih mengutamakan [Muhajirin] daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kemiskinan (kesulitan). Dan barang siapa yang terpelihara dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang berhasil (QS Al-Hasyr/59:9).

Seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW., “Ya Rasulullah, saya lapar.” Rasulullah SAW meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. Beliau bersabda kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang bersedia memberi makan tamu pada malam ini?” Seorang Anshar menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Ia pun pergi menemui istrinya dan berkata, “Suguhkan makanan pada tamu Rasulullah.” “Demi Allah, tak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” Laki-laki itu berkata, “Tidurkan anak-anak, padamkan lampunya dan hidangkanlah makanan yang ada; biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Esok harinya Nabi SAW bersabda, “Allah kagum dan gembira karena perbuatan kalian.” Lalu turunlah ayat itu.

Abdurrahman bin ‘Auf, salah seorang Muhajirin, ketika tiba di Madinah tidak punya apa-apa lagi. Maka saudaranya, Sa’ad bin Ar-rabi’ dari kalangan Anshar, menawarkan hartanya untuk dibagi dua. Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia mencapai kekayaan kembali dan dapat memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Madinah.

Memperteguh Silaturahmi
Tulang punggung ukhuwah adalah silaturahmi. Menjalin dan memelihara hubungan keluarga merupakan suatu tuntunan akhlakul karimah dalam Islam yang amat penting.
Hai umat manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan menciptakan darinya pasangannya; dan dari keduanya Ia memperkembangbiakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu selalu meminta dan jagalah hubungan keluarga. Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu (QS An-Nisa‘/4:1).

Ayat itu menyebut silaturahmi bersama pesan takwa kepada Allah. Secara tersirat ayat itu menunjukkan bahwa silaturahmi merupakan sesuatu bentuk ketakwaan. Memutuskan silaturahmi melunturkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Silaturahmi juga merupakan salah satu ajaran akhlak Islam paling awal. Ali bin Anbasah berkata, “Saya menemui Nabi SAW di Mekah pada awal kenabiannya dan bertanya kepada beliau: ‘Siapa engkau?’ Beliau menjawab, ‘Nabi.’ Saya bertanya lagi, “Siapakah Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Allah mengutusku.’ Saya bertanya sekali lagi, ‘Untuk apa Dia mengutusmu?’ Beliau menjawab, ‘Dia mengutusku untuk memegang teguh tali silaturahim, menghancurkan berhala dan mengajari manusia bahwa Allah adalah Esa dan tiada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya.” (HR Muslim).

Suatu saat Abu Sufyan berbincang dengan Heraklius. Raja itu bertanya, “Apa yang diperintahkan oleh Nabimu untuk dikerjakan?” Abu Sufyan menjawab, “Beliau bersabda pada kami, ‘Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; hentikanlah agama nenek moyangmu.’ Beliau memerintahkan kami untuk berdoa, memberikan sedekah, mensucikan diri dan meneguhkan ikatan keluarga.”
Abu Ayyub Al-Anshari meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perihal perbuatan baik yang bisa mengantarkan aku masuk surga.” Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan sekutukan Dia; tegakkanlah shalat fardhu, tunaikan zakat dan berpegang teguhlah pada tali silaturahim.”
Seorang Muslim yang berharap memperoleh nikmat Tuhan dan keselamatan di alam baka akan tergetar hatinya mendengar berita bahwa memutus tali silaturahim itu memutuskan rahmat Allah dan menjadikan doa tidak dikabulkan serta mempercepat hukuman di akhirat. Ibnu Umar sering kali berkata, “Barang siapa yang bertakwa kepada Tuhannya dan memegang teguh tali silaturahim akan merasa hidup lapang, kekayaannya bertambah dan keluarganya akan semakin mencintainya.”

Muslim hendaknya pro-aktif dalam bersilaturahmi. Siapa yang berinisiatif untuk menjaga dan memperbaiki silaturahmi dialah yang lebih baik. Ukhuwah melahirkan kerukunan hidup dan kesetiakawanan sosial. Komunitas Muslim tidak akan diperhitungkan keberadaannya jika tidak memelihara dan membangun jaringan silaturahim.[]

Penulis adalah Guru Besar Tafsir Al-Quran pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta